Bahasa Melayu, bahasa persatuan di rantau Nusantara - ABIM
angkatan belia islam malaysia (abim)
muslim youth movement of malaysia

Bahasa Melayu, bahasa persatuan di rantau Nusantara

Orang Malaysia dan Indonesia yang awam seringkali salah paham dalam mendefinisikan mana yang bahasa Indonesia dan mana yang bahasa Malaysia. Kebanyakan mereka yang kita temukan di medsos membandingkan dua ragam bahasa yang berbeda sehingga terasa sangat jauh.

Misalnya, orang Malaysia awam menganggap bahasa Indonesia itu adalah sebagaimana yang dituturkan oleh orang Jakarta. Dan sebaliknya, orang Indonesia awam menganggap bahwa bahasa Malaysia itu ialah bahasa yang dituturkan oleh orang Kuala Lumpur.

Kemarin ketika kawan saya Presiden Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Muhammad Faisal Abdul Aziz merilis pernyataannya tentang bahasa Melayu, ada orang Malaysia yang berkomentar di akun FB nya bahwa jarak antara bahasa Malaysia dengan bahasa Indonesia jauh karena kosakata yang berbeda. Ia mencontohkan perbandingan antara kosakata “tak nak” di Malaysia dengan “nggak” di Indonesia yang jelas memperlihatkan perbedaan.

Suatu hal yang mungkin ia lupa adalah bahwa yang sedang ia bandingkan itu adalah dua ragam yang sama-sama tidak baku. “Tak nak” hanyalah ragam bahasa percakapan di Malaysia manakala “Nggak” juga hanyalah ragam bahasa percakapan di Jakarta. Kedua-duanya sama-sama tidak terpakai dalam ragam bahasa baku.

Jika yang kita perbandingkan antara ragam yang tidak baku maka perbedaan itu tidak hanya akan kita temui antara bahasa Indonesia dan Malaysia saja, malahan juga akan kita temui antara ragam dialek bahasa Melayu lainnya. Misalnya antara bahasa Melayu Palembang dengan bahasa Melayu Ambon pasti akan terasa bedanya. Begitu juga dengan bahasa Melayu Johor dengan bahasa Melayu Kelantan atau Pattani. Termasuk misalnya dengan bahasa Melayu Betawi dengan bahasa Melayu Bugis.

“Kasih bunuh itu lampu !!” Seru orang Bugis ketika berbahasa Melayu yang tentunya akan membuat mereka yang baru pertama kali mendengarnya mengernyitkan dahi. Padahal maknanya adalah “matikan lampu.”

Bahasa Melayu adalah bahasa utama di rantau ini. Ia sudah menjadi lingua franca selama ratusan tahun. Ia menjadi satu-satunya bahasa pengantar yang dapat menyatukan hampir semua orang di Nusantara. Ragam dialek bahasa Melayu ini sangat banyak. Tidak hanya ada di bagian barat kepulauan ini, tetapi hingga ke Ambon, Ternate sampai Papua. Bahkan dialek Melayu ini juga dipakai di Christmas Island dan Cocos Island yang merupakan teritori Australia.

Kokohnya bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu rantau ini menjadikan penjajah tidak perlu mengintrodusir suatu bahasa baru untuk menyatukan tanah jajahannya. Baik Belanda maupun Inggris mengadopsi bahasa ini untuk digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan di tanah jajahannya ini. Dimulai dari Sekolah Guru di Bukittinggi oleh Belanda dan disusul dengan Sekolah Guru di Melaka oleh Inggris. Kedua penjajah ini menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantarnya.

Sebaran bahasa Melayu yang sangat luas menjadi berkah tersendiri bagi bangsa kita. Bangsa ini sukses menyatukan bahasa pengantar yang dapat diterima oleh semua pihak nyaris tanpa konflik. Karena itu ketika proses pendirian negara, tidak ada satu bahasa pun yang lebih layak untuk diadopsi sebagai bahasa negara selain bahasa Melayu yang kemudian direbranding menjadi bahasa Indonesia di Indonesia. Bandingkan negara kita dengan negara-negara jajahan lainnya yang gagal menyepakati bahasa persatuan sehingga terpaksa mengadopsi bahasa penjajahnya sebagai bahasa persatuan.

Sebenarnya jelas bahwa hanya ada satu bahasa persatuan di rantau ini yang kita sebut sebagai bahasa Melayu. Maka sudah wajar bila bahasa Melayu harus kita kokohkan kedudukannya sebagai bahasa utama, bukan bahasa asing seperti bahasa Inggris. Oleh karena itu, pada hemat saya, usulan PM Malaysia Pak Ismail Sabri untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa kedua Asean patut kita sambut.

Tinggal lagi, bahasa Melayu mana yang akan kita adopsi?

Setidaknya saat ini ada dua standar bahasa Melayu yakni Standar Indonesia, dan standar Malaysia. Standar Indonesia dipakai di Indonesia sedangkan standar Malaysia dipakai di Malaysia, Singapura, dan Brunei. Di samping itu masih ada komunitas berbahasa Melayu lainnya yang tidak terstandardkan seperti di Pattani, Champa, dan Moro. Tugas para praktisi bahasa adalah mencari suatu standardisasi yang tepat yang dapat kita adopsi sebagai standar acuan bahasa Melayu.

Sebenarnya usaha ini sudah dilakukan sejak lama. Sejak dari era kemerdekaan, ejaan Malindo, dan EYD. Oleh karena itu, usulan ABIM untuk memaksimalkan forum Majelis Bahasa Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABBIMS) sebagai forum untuk menstandardkan bahasa Melayu sangat tepat.

Kalau saya pribadi, mengusulkan basis standardisasi bahasa Melayu lebih baik menggunakan standard Indonesia. Alasannya karena standar Indonesia ini lebih konsisten dan lebih egaliter.

Misalnya dalam melafalkan bunyi huruf. Huruf “A” akan selalu dengan konsisten dibaca “A” seperti dalam kata “KAYA”. Bandingkan dengan standar Malaysia yang kedua “A” dalam kata itu dibaca secara berbeda. Yang satu dibaca “a”, satu lagi jadi “Γ©” sehingga berbunyi “kayΓ©”. Dua huruf yang sama tetapi dibaca berbeda.

Dari sisi egaliternya, standar Indonesia sudah menyesuaikan dengan suasana republik. Indonesia tidak mengenal kosakata yang dikhususkan kepada bangsawan atau istana. Misalnya kosakata “putra” di standar Indonesia hanya bermakna anak laki-laki. Ia dapat digunakan sejak dari kalangan rakyat jelata hingga rakyat yang memiliki segala. Sedangkan di standar Malaysia kosakata “putra” hanya boleh dipakai untuk anak raja. Begitu juga kosakata “mangkat, wafat, santap, almarhum” yang di standar Malaysia adalah kosakata Istana sedangkan di Indonesia bisa dipakai oleh semua orang tanpa membedakan status.

Yang juga perlu dimaksimalkan juga adalah tentang kata serapan. Sedapat mungkin memprioritaskan serapan dari bahasa-bahasa lokal terlebih dahulu sebelum menggunakan serapan dari bahasa asing. Saya kira kedua standar harus terbuka pada khazanah lokal satu sama lain.

Lebih dari itu tentu para ahli bahasa yang lebih mengerti. Semoga upaya ini semakin maksimal di masa yang akan datang.

Dan menurut saya tidak perlu kita lanjutkan sentimen ala masa konfrontasi tahun 60’an dahulu. Bahasa Melayu (entah nanti pakai standar Indonesia atau Malaysia atau mungkin nantinya akan ada standar persatuan) harus kuat di dunia. Dengan demikian ia bisa menjadi salah satu bahasa internasional. Kalau kita bertengkar terus hanya karena soal nama, bahasa ini makin berat untuk bergema di dunia internasional.

Kita balik saja ke pangkal bahwa kita punya bahasa yang sama yakni bahasa Melayu dengan dua standar yang sudah berkembang : standar Indonesia, dan standar Malaysia. Sehingga ketika Pak Ismail Sabri mengusulkannya sebagai bahasa Asean, kita tidak perlu emosional. Justru memang itulah akar bersama bahasa kita.

Oh ya, saya sepakat dengan pendapat Paul di video ini:

Ia mengatakan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu adalah “Single pluricentric language with basicly two standard varieties and the variety of different dialects / Bahasa tunggal plurisentris dengan dua ragam standar dan ragam dialek yang berbeda.”


Video Perdana Menteri Singapura berpidato dengan bahasa Melayu baku standar Malaysia:

  • * Sumber: Yudi Sutan Ma’rouf (Mantan pimpinan Pelajar Islam Indonesia – PII).